Jangan tanyakan mengapa tersenyum pada mereka, orang-orang di perempatan itu. Tak akan ada jawaban, hanya ada gemingan yang tak memberikan arti apa-apa. Wong orang-orang kumuh yang rumahnya menempel dengan mereka saja tak pernah tahu, apalagi kalian yang baru akan sekali ini setelah kuberi tahu. Itupun jika kalian mau. Oh ya, bahkan anak-anak yang nyadong dengan mendendangkan lagu-lagu yang tak teratur nadanya di perempatan dekat senyum itu saja tak tahu maksud senyum itu. Mungkin senyum kebahagiaan, mringis kesakitan, atau mungkin senyum ejekan pada kita dan mereka. Orang-orang yang haram untuk tersenyum. Mungkin saja kumpulan orang-orang pintar dalam agama akan berfatwa begitu jika mengetahui kenyataan ini. Mungkin.
“Bersama saya mari berantas KORUPSI!”.
Begitu kata seorang dari mereka tanpa suara.
“Sudah empat kali BBM turun dipemerintahan saya. Ayo ikut saya!”.
Memang sekali saja BBM sempat naik di pemerintahannya, tapi naiknya nggak nanggung-nanggung lebih dari seratus persen. Dan turun baru-baru ini, itupun bertahap dan hanya berapa persen saja. Sebelum rakyat berpesta di gedung milik pemerintah yang megah dan dananya nggak cukup dituliskan dalam kalkulator. Ini memang pesta rakyat, namun penyelenggara serta pemilik pesta adalah pemerintah. Tentunya mereka sangat berduit dengan pesta semegah ini.
Memang hanya dia yang menurunkan BBM? Orang lain kan juga ikut andil. Jangan serakah-serakah dong dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Maunya menang sendiri.
“Saya akan memperjuangkan hak-hak petani”.
Terlihat dia bersama orang-orang tua bercaping yang juga nyengir seperti dia. Tapi nyengirnya wagu dan kaku.
Hak-hak petani? … diperjuangkan?
Petani di negeri ini hanya berhak untuk hidup miskin dan ditelantarkan. Tak lebih. Itukah maksudnya yang mau diperjuangkan?
“Bersama ulama meraih ketenangan didunia dan ketenangan di surga”.
Yang ini lebih lucu lagi. Apa memang benar semua ulama masuk surga? Nggak juga. Kalau dikatakan semua ulama masuk surga, itu adalah bohong besar! Bukankah kata banyak ustadz (yang saya sendiri tak tahu apakah dia masuk surga atau tidak) mengatakan kalau ada ulama akhirat dan ulama dunia?
Dunia sungguh aneh. Dulu banyak ulama yang berbeda pendapat dan itu sudah biasa, dan malah jadi khazanah keagamaan. Tapi sekarang banyak ulama yang beda ‘pendapatan’, dan itulah yang bikin geger. Ya, tokoh suci yang satu ini seakan menjadi komoditi dagang yang sangat menguntungkan.
Maaf, saya sampai lupa. Disini saya kan hanya sebagai penunjuk jalan. Bukan sebagai kritikus politikus. Mari ikuti langkahku lagi.
Dari perempatan yang banyak orang tersenyumnya itu mari kita jalan lurus terus. Biarlah mereka tersenuyum, senyum-senyum penyakit yang muncul belakangan.
***
Jika kalian adalah orang yang cinta keindahan dan tentunya menginginkan keindahan, jangan berharap banyak. Sebab kota kebudayaan yang semestinya menghargai keindahan sudah tidak akan anda temukan lagi di sini. Sampah-sampah berkibar-kibar di sepanjang jalan tanpa beraturan.
Sampah …?
Mungkin terlalu berani jika aku bilang itu adalah sampah. Tapi kenyataannya, pemasangan atribut-atribut itu tak teratur, kalau tidak untuk dikatakan ngawur. Bukankah makan duren yang sangat enak itu adalah menjadi racun jika over dosis? Atribut sebagai pengenalan itu sudah keterlaluan.
Lihat saja di tempat-tempat umum seperti SD-ku dulu pun ada gambar mereka. Apakah mereka benar-benar tak tahu kalau di tempat seperti ini dilarang ataukah mereka memang nekat memasang walau tahu kalau dilarang? Untuk kemungkinan pertama, berarti mereka meski harus sekolah dulu biar tahu kalau memasang gambar-gambar senyum itu dilarang di lokasi seperti SD-ku dulu itu. Kalau hal-hal sepele seperti ini saja tak tahu, lalu bagaimana mau jadi wakilnya rakyat? Bisa-bisa negeri ini banyak dikibuli bangsa-bangsa tetangga. Sedangkan kemungkinan kedua, ini benar-benar tipe-tipe orang-orang nekat yang hanya akan merusak birokrasi. Hanya orang-orang pandailah yang akan menyesatkan tanpa ada hembusannya.
Setelah lelah mengikuti langkahku, apa yang kalian dapat?
Keanehan bukan …?
Orang-orang di perempatan itu mengumbar senyum dengan diiringi umbaran janji-janji.
Tidak aneh? Coba kalian fikir dengan kening yang agak berkerut. Bukankah janji adalah sesuatu yang harus ditepati, bila tidak akan dikenai sanksi yang dalam bahasa agamanya adalah kafarat. Orang punya tanggungan kok bangga? Hutang dengan tetangga saja bagi kita dapat menimbulkan rasa ‘nggak enak’ yang luar biasa. Malah lebih parahnya lagi saya pernah lihat di Koran sampai nggantung.
Sekarang kita hanya menanti atas apa yang akan mereka lakukan jikalau mereka terpilih menjadi ‘wakil rakyat’. Apakah yang mereka jadikan wirid dalam poster-poster, baliho-baliho, serta stiker-stiker benar-benar akan mereka realisasikan. Ataukah hanya senyum itu yang dapat mereka berikan, untuk yang pertama kali sebagai perkenalan dan terakhir kalinya?.
Itupun saya kira lebih kepada senyum ejekan pada kita orang-orang miskin. Mayoritas gelar yang dimiliki rakyat negeri ini.
Kotagede, 29-30 0109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar