***
Seperti hari-hari biasa, tiada yang istimewa. Tak ada yang kelihatan berbeda. Hanya rembulan yang terlihat mengintip di ufuk timur. Bulat penuh. Berwarna keemasan. Terlihat indah tanpa adal setitik awanpun mengurangi keindahannya.
Tahun-tahun sebelumnya, bulan ini seharusnya sudah mulai masuk musim penghujan. Tapi entah, musim kemarau tahun ini lebih lama. Malam yang dingin, angin sepoi-sepoi yang beku mencubit kulit.
Seorang lelaki terlihat tidur-tiduran diatas sebuah kursi panjang terbuat dari mambu di depan kelas yang lampunya belum dinyalakan. Gelap. Di depan kelas, sebuah lampu menyala. Seekor serangga malam terbang mengitarinya. Sesekali serangga itu menabrakkan badannya yang ringkih ke lampu yang tetap berpijar. Beberapa kali setelah menabrakkan badannya ke lampu itu, jatuhlah ia ke lantai bersama beberapa serangga lain yang telah mendahuluinya.
Lelaki itu, matanya nanar menatap ke arah langit-langit depan kelas. Sendiri. Kadang suara jangkrik menemani kesendiriannya. Beberapa menit lagi sekolah diniyah ba'da maghrib itu akan dimulai di kelas itu tapi masih belum ada satupun santri yang datang, masuk ke kelas.
Ba'da maghrib merupakan jam masuk diniyah ke dua. Sebelumnya, setelah ashar, di kelas yang sama para santri menuntut ilmu. Nanti ba'da isya' juga masuk lagi. Biasanya sorogan, baca kitab, atau musyawaroh.
Lelaki itu masih menatap langit-langit depan kelas. Kelas yang gedungnya berada beberapa puluh meter dari komplek kamarnya. Gedung berlantai tiga. Beberapa santri telah masuk kelas. Melewatinya dalam diam. Beberapa menyapanya. Satu dua orang yang dia timpali, "iya... .".
Setelah kelas penuh dengan para santri, hanya beberapa kursi saja yang kosong, ustadz juga telah masuk, baru ia masuk kelas. Diiringi oleh berpuluh-puluh pasang mata yang telah duduk di kursi masing-masing. Sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang santri menempati kelas itu. Hanya lelaki, tak ada perempuan. Kelas perempuan ada sendiri di samping tembok masjid sebelah timur masak.. Beberapa detik kemudian ustadz memanggil nama-nama santri yang tercantum dalam presensi," Wagiyo". "Hadir... .", yang merasa namanya di panggil angkat suara. "Sugiono... . Sururuddin...", suara bapak ustadz. Yang namanya merasa di panggil kembali menjawab, "Hadir". "Syamsuddin... ... ... ... . saya... .". Khoirul Anam,... . hadiiir". "Arif Trianto Hidayat, Hamdan Asyrofi, Syarif Hidayatulloh, Nisfi Maghfurin, Roro Fatihin, Mahfudz Ali... Hadir... .". Rha... .Ya... ."
Rha, nama yang keren untuk seorang santri. Umumnya nama-nama santri berbau arab seperti Syarif Hidayatulloh, Mahfudz Ali, Muhammad Kholid Ali Usamah. Atau paling tidak terdapat kata "din" seperti Syamsuddin, atau Sururuddin. Atau berbau Jawa seperti Wagiyo dan Sugiono yang agar terdengar lebih keren dipanggil Ugik. Tapi ada juga nama yang agak aneh, mungkin seaneh orangnya. "Yuliadi Ponda". Kadang ditambahi "Marabunta" pada akhir nama tersebut. Kata pemilik nama itu, PONDA asluhu PANDAWA, 'ala wazni fa 'a la. Lalu Yuliadi-nya? Santri-santri yang lain kadang mengejeknya dengan membuang huruf "di" diakhir kata. Menjadi "Yulia."
Tapi apalah arti sebuah nama. Hanya sebuah identitas diri. Orang mengenal orang lain dengan tanda-tanda tertentu dan panggilan tertentu itu sedah cukup. Tapi ada yang berpendapat, nama adalah do'a.
Setelah adzan Isya' dikumandangkan, setelah dari berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu masjid, surau, musholla, dan langgar suara iqomah terdengar, pelajaran diniyah ba'da maghrib selesai. Santri-santri kembali ke kompleknya masing-masing. Ada pula yang masih mampir di angkringan atau koperasi depan pondok. Sebagian yang lain ada yang menyulut rokok, ngobrol dengan temannya atau ke kulah. Bagi santri yang rajin langsung wudhu, ambil sajadah atau surban dan langsung ke masjid untuk sholat sunnah atau membaca al-Qur'an sembari menunggu iqomah di masjid pondok. Memang biasanya iqomah di pondok ini lebih lama atau dapat dibilang telat dari masjid-masjid yang lain, mungkin untuk memberikan waktu bagi santri yang masih diniyah.
Teet..teeet..... teeeet..... teeet..... teeeet.... teeeeeeeeeeeeeeeet.......berkali-kali bel berbunyi meraung-raung, menjerit-jerit, mengerang-erang tanda iqomah di masjid sebentar lagi akan dikumandangkan. Beberapa pengurus memasuki kamar-kamar dengan mengetoki pintu kamar agar para santri segera pergi ke masjid untuk berjamaah. "Ayo kang, Jama'ah... . Jama'ah... . Jama'ah... .Wes qomat... . wes qomat... .wes qomat... ."
Dan... .setelah jamaah usai dengan wiridan-nya, para santri bersiap untuk mengikuti kegiatan diniyah ba'da Isya'. Lagi-lagi pengurus turun ke komplek-komplek.
Malam yang dingin, pengurus masih sibuk ke kamar-kamar di kompleks itu kalau-kalau masih ada santri di kamar yang tidak mengikuti kegiatan. Kamar nomor satu kosong, kamar nomor dua kosong juga. Tapi ada yang sedikit aneh di kamar nomor dua itu. Pintu tidak bisa dibuka lebar. Padahal sebelumnya tidak seperti itu. Maka dilihatlah sesuatu di balik pintu itu.
Dan benarlah. Seorang lelaki terlihat meringkuk sendirian dibalik pintu itu. Penguruspun berkata, "Ayo ngaji Rha.."
ADM. Selasa, Januari 13, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar