Have an account?

Jumat, 06 Februari 2009

KONSEP RIYADLOH dan STATUS GIZI SANTRI

Fatchul Anam N.

Acara Sosialisasi Poskestren yang diadakan pada tanggal 15 Januari 2009 cukup mengundang perhatian para santri. Salah satu poin yang disampaikan adalah status gizi santri yang terkenal parah, tidak tergolong cukup bagi seseorang yang tengah belajar menuntut ilmu. Namun, penyampaian hal tersebut tidak disertai keterangan lanjut mengapa kasus tersebut tetap langgeng di kancah perpesantrenan Nusantara. Berikut sedikit gambaran mengenai variable yang mungkin menjadi sebab kelanggengan kasus tersebut.

Sudah menjadi stereotype bagi santri bahwa mereka, para kaum bersarung, memiliki status gizi yang rendah. Rendahnya status gizi ini menjadi bagian dari beberapa stereotype lain yang melekat pada diri santri, misalnya sering gudigen, berwawasan konservatif, ketinggalan zaman, dan fanatic sempit. Lengkap sudah catatan-catatan khusus itu melekat pada diri santri.
Berbicara mengenai status gizi santri, tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu pola konsumsi santri, kegiatan santri, kesadaran gizi santri, dan konsep riyadloh yang tengah dianut santri. Semua faktor tersebut memiliki kaitan satu sama lain sehingga pada akhirnya menghasilkan statemen status gizi yang khas bagi kaum santri. Apabila kita analisa lebih lanjut maka faktor-faktor di atas pada dasarnya bermuara pada satu faktor, yaitu konsep riyadloh yang dianut santri.

Riyadloh merupakan suatu istilah yang tak asing lagi terdengar ketika segala sesuatu yang berkaitan dengan pesantren dan identitas santri dikupas. Riyadloh secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu usaha laku prihatin santri dalam belajar menuntut ilmu sehingga ilmu yang didapatkan menjadi bermanfaat dan berkah. Dalam praktiknya, laku prihatin santri ini bermacam-macam. Adakalanya, para santri mengandalkan laku prihatin yang sulit diterima akal, misalnya puasa. Bentuk puasa ini pun bermacam-macam. Kalau misalnya puasa senin-kamis, maka bisalah hal itu dimengerti dan memang secara kesehatan bias dinyatakan menguntungkan. Namun, di kalangan santri puasa tidak hanya berhenti pada tataran puasa senin-kamis, mereka mencari puasa ijazahan. Puasa yang diijazahkan bermacam-macam, misalnya puasa ndalail, puasa mutih, dan puasa tidak makan daging.

Bila dipandang menurut kacamata gizi, hal di atas benar-benar tidak baik bagi tubuh. Bahkan, terjadi paradoksial antara maksud santri untuk mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan ilmu dengan akibat yang mungkin terjadi bila model laku seperti hal tersebut dijalankan secara lanjut. Paradoksial itu berdasarkan bahwa selama ini kegiatan belajar merupakan suatu kegiatan yang banyak menyita banyak energi dan membutuhkan berbagai macam nutrisi untuk mensupport keberhasilan kegiatan tersebut. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka laku prihatin santri tersebut sebenarnya tidak mendukung kesuksesan belajar, namun malah menjadi barrier kesuksesan yang mereka dambakan. Sebagai catatan, laku riyadolh puasa hanyalah salah satu dari sekian banyak laku santri yang dinilai tidak masuk akal oleh kalangan luar pesantren.

Nah, itulah mengapa sampai sekarang cap santri sebagai makhluk rendah gizi masih sering terdengar. Ideologi riyadloh santri ternyata memainkan peranan penting di dalamnya. Padahal, seperti kita ketahui bersama bahwa ideologi riyadloh santri merupakan tradisi yang senantiasa dilestarikan di kancah perpesantenan nusantara. Namun, untuk masa sekarang hal itu memang sudah berkurang sehingga seharusnya seorang ahli gizi tidak menerapkan metode gebyah uyah dalam menjustifikasi status gizi santri. Sekarang kesadaran gizi para santri semakin membaik seiring dengan banyaknya santri yang mulai menikmati pendidikan tingkat perguruan tinggi (konon merupakan pendidikan elite).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar