Have an account?

Jumat, 06 Februari 2009

Renungan untuk saudaraku Muslim Palestine: Tak patut aku mengucap “ La Tahzanuu “

Fatchul Anam N.

Aku tidak tahu entah apa yang harus kuperbuat. Pergi ke Palestine, ikut membantu saudara-saudaraku yang ada di Palestine, seperti yang diserukan oleh teman-teman yang di FPI dan harokah Islam yang senafas dengannya? Saya rasa ide bagus. Saya bisa melampiaskan amarah yang ada dalam diriku. Kejahatan Israel telah menodai bumi suci Palestine, bumi para Anbiya’. Bergalon-galon darah telah tertumpah. Bau anyir darah sudah menjadi suguhan saudaraku di Palestine sedari bangun tidur hingga akan tidur lagi. Setiap jengkal tanah Palestine kelak akan menjadi saksi kesyahidan para saudaraku. Kekejian Israel membuat diriku gerah. Bagaimana mungkin tentara-tentara terlatih menggempur warga yang tidak berdaya? Namun, ini ternyata telah tergores di Lauhul Mahfudz yang kini telah aku saksikan perlakonannya di dunia dlohir ini.

Tentara perkasa yang tak berperikemanusiaan merengsek menggempur Palestine. Saudaraku ada di dalamnya, tengah berkumpul, menikmati karunia bumi merdeka yang mereka cita-citakan. Tangis para bayi dan ibu seakan menjadi hiburan murahan bagi para tentara Israel. Tanah di bumi Palestine, entah sampai kapan akan mampu menahan kesabarannya untuk menelan tentara bengis tersebut. Betapa hal tersebut tidak membuatku marah, muring-muring, misuh, kesal , jengkel, dongkol? Sepertinya memang bagus untuk mengikuti saran FPI dan harokah Islam yang senafas dengannya. Aku ada sedikit bekal untuk pergi ke sana, walaupun mungkin harus ndonkar-ndongkar celengan. Tapi, …jujur saja saya takut! Bagaimana kalau di sana nanti benar-benar harus ikut mengangkat senjata? Memegang sapu untuk sekedar piket halaman saja berat, apalagi harus mengangkat senjata, dengan taruhan nyawa. Belum lagi kalau tertembak. Tentunya sakit. Aku pernah terkena duri, itu saja rasanya sakit minta ampun. Apalagi peluru.

Serendah inikah kadar imanku. Membela saudara yang nyata-nyata telah didlolimi saja tidak berani. Aku tidak tahu bagaimana keadaanku di akhirat nanti ketika film besar mengenai kekejian Israel terhadap para saudaraku diputar ulang, dengan disaksikan oleh semua anak keturunan Nabi Adam? Saya akan sangat malu sekali jika saat kejadian itu berlangsung, di screen yang lain, ditampilkan diriku yang sedang santai-santai, guyon-guyon, tura-turu, ngemal-ngemil, seakan semua umat di dunia telah aman. Tidak ada yang terhempaskan haknya untuk hidup.

Aku jadi bingung sendiri. Di tengah dunia mempromosikan kedamaian, demokrasi, dan HAM, ternyata di suatu sudut dunia yang lain terjadi kejahatan HAM yang tak satupun negara berani mengusiknya. Jujur saja, saya skeptis dengan para pemimpin umat yang ada di belahan dunia ini. Mereka memiliki otoritas. Mereka punya kekuatan. Mereka punya pengikut. Tapi, nyatanya masih saja hanya mengatakan “rakyat Palestine hanya butuh bantuan logistic dan obat-obatan”. Seakan saya tidak percaya bahwa ucapan tersebut disampaikan oleh para tokoh besar yang banyak diharapkan perannya oleh para saudaraku yang ada di Palestine.

“Ya Allah, kemanakah saudaraku muslim yang lain? Bumi-Mu banyak dihuni oleh mayoritas Muslim. Namun, ketika kami tertindas, tak satupun yang angkat senjata. Boro-boro angkat senjata, angkat bicara pun ogah”
“ Ya Allah, apakah karena kami berbeda bangsa dengan mereka, lantas mereka tidak mau menurunkan kekuatan mereka untuk membantu kami. Padahal, seperti yang Engkau ketahui, perjuangan kami bukan untuk kemerdekaan kami sendiri. Perjuangan kami adalah untuk membebaskan Bumi Para Anbiya’ dan Masjid al Aqsho. Apakah mereka sudah mengingkari hadis Rasulullah, yang menyatakan keluhuran pahala bagi hamba yang bersujud di dalamnya, sehingga mereka merelakan Masjid al Aqsho direbut Israel ?”

Rintihan di atas terdengar, bersamaan dengan melelehnya air mata yang menganak sungai, membasahi pipi yang berbalut kefakiran kepada Allah. Udara dingin yang membalut mereka kini seakan memanas. Rintihan tersebut telah menggetarkan partikel-pertikel mikro udara hingga timbul energi kalor akibat gaya gesek yang begitu kuat. Tanah yang menampung air mata mereka seakan ingin mengeluarkan segala isi yang ada di dalamnya. Udara yang semula berhembus kini tertahan, ikut menikmati tangis rintih seorang hamba yang mengadu kepada Tuannya. Tangis itu pun terus naik ke atas. Penduduk langit yang teruji kelembutan hatinya kontan melelehkan air mata mereka. Kini tangis saudaraku di Palestine telah menggoncang alam para manusia langit.

Tak pantas bagiku untuk mengucap la tahzanuu, wahai saudaraku Muslim di Palestine!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar