Have an account?

Selasa, 27 Januari 2009

REKONSTRUKSI GEDUNG ASRAMA

Malam itu suasana di asrama mahasiswa sunyi senyap. Hanya terdengar sayup-sayup obrolan lirih dari segilintir santri yang sedang piket ronda. Di sebelah mereka berderet beberapa santri yang tergeletak tidur. Lelah telah membuat mereka tak kuasa menahan kantuk yang menyerbu kelopak mata. Mereka seolah lupa pada tugas ronda yang di emban. Sementara di dalam aula terdapat banyak santri yang terbaring melepaskan penat setelah seharian penuh melakukan akfitas yang padat. Mereka tampak berjajar rapi. Jika diamati, posisi tidur mereka tak ubahnya deretan ikan pindang yang biasa tersedia di kantin.
Itulah sedikit dari sekian banyak gambaran fenomena nyata yang terjadi di pesantren kita akibat adanya rekonstruksi gedung bangunan asrama mahasiswa. Perbedaan suasana pondok pada saat sesudah dan sebelum dilakukan rekonstuksi gedung terlihat jelas. Salah satunya adalah seperti yang tercover pada paragraph di atas. Piket ronda yang sebelumnya dilakukan para santri di pos ronda, kini beralih tempat setelah dilakukan rekonstruksi bangunan. Para santri lebih memilih tempat yang berada di depan bangunan komplek B baru. Praktis, pos ronda yang ada sekarang ini tidak banyak dimanfaatkan dan terkesan banyak nganggurnya. Jika pos ronda itu mampu berbicara, mungkin ia akan berteriak sekeras-kerasnya, memprotes para santri yang sudah tidak lagi memperdulikan eksistensinya. Ia akan menuntut haknya untuk diperlakukan sebagaimana mestinya. Dulu pada saat sebelum rekonstruksi, pos ronda dipenuhi para santri yang sedang ronda. Suasana lebih terlihat agak ramai karena mayoritas dari santri yang sedang ronda dalam keadaan terjaga, bahkan tak jarang mereka menyempatkan diri untuk memasak. Sekarang, jika kita lihat teman-teman santri yang sedang ronda mereka lebih memilih terbang ke alam mimpi dari pada sekedar ngobrol, membaca buku atau bahkan memasak. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena lokasi ronda yang sangat mendukung dan representative untuk dijadikan tempat tidur.
Tak dapat dielakkan, bahwa dengan adanya rekonstruksi gedung asrama, para santri memperoleh kenyamanan tersendiri. Sebagai salah satu bukti adalah bahwa saat ini, para santri bisa dengan sangat leluasa membawa computer atau laptopnya ke dalam pondok. Tentu hal ini mempermudah mereka dalam hal pengerjaan tugas-tugas kampus.
Sejauh ini memang proyek renovasi asrama masih belum rampung seratus persen, kendati demikian suasana nyaman sudah dapat dirasakan. Saat ini para tukang bangunan sedang menyelesaikan bangunan komplek yang berada di sebelah paling timur atau biasa disebut dengan kamar wetan. Rencananya bangunan baru tersebut akan digunakan sebagai kamar tidur para santri dan bagian belakang gedung akan dimanfaatkan sebagai tempat parkir sepeda motor dan pit onthel. Untuk parkirnya sekarang sudah dapat digunakan, tetapi kenyataannya teman-teman santri lebih suka memarkir motornya di halaman depan kantor yang baru. Tindakan mereka inilah yang beberapa waktu lalu sempat disesalkan ketua keamanan pondok dalam sambutannya di sela-sela acara rutin tiap malam jumat.
“Yo’ opo arek-arek iki wong wes angel-angel digawekno parkiran kok gak gelem marker neng nggone” begitulah sang ketua keamanan dengan bahasa khas jawa timur menyampaikan keluhannya. Sebenarnya dari segi penempatan, letak parkiran kurang begitu strategis. Para santri harus menuntun motornya jauh ke belakang kamar wetan, sehingga merekapun malas untuk memarkirnya di tempat yang telah disediakan. Mereka lebih memilih memarkirnya di halaman pondok karena lebih praktis. Biasanya para santri akan mau memarkirkan kendaraanya di parkiran tersebut ketika hujan turun.
Terkait dengan proyek pembangunan tersebut, crew as sibaq sempat menanyakan komentar beberapa santri. “ Terus terang saya pribadi merasa bertambah nyaman dengan adanya pembangunan gedung asrama yang baru, tapi di satu sisi dampak negative dari adanya proyek tersebut dikhawatirkan kang-kang santri bisa dengan sangat leluasa mengarahkan pandangannya ke arah barat, maksudnya ya itu loh kang-kang santri inceng-inceng kompleke mbak-mbak santri, itu kan nggak etis” begitulah komentar dari Kang badar seorang santri yang mempunyai banyak status, dari mulai status mahasiswa, santri, guru, single, jomblo ( eh..tapi dua status yang disebut terakhir ini guyon lo kang..disensor). Mbah faiz, salah satu artis idola santri yang pernah diekspos di madding ini enggan berkomentar ketika ditanyakan masalah proyek pembangunan ini, begitu juga kang bey ratomi santri nyentrik asal magelang inipun tak mau mengucapkan sepatah kata pun dari bibirnya. Penyebab pastinya belum diketahui, entah karena takut, pekewuh atau karena malas tur isin, yang jelas mereka berdua no koment.
Akibat dari adanya rekonstruksi bangunan, berbagai masalah pun muncul, di antaranya adalah masalah buku-buku yang ada di komplek A. Banyak di sana tercecer berkardus-kardus buku yang membuat pemandangan jadi tak sedap. Sebelumnya banyak juga buku yang mangkrak di depan kamar wetan yang masih dalam pembangunan. Apalagi kondisinya basah dan banyak kitabnya. Kitab-kitab itu bahkan terinjak-injak. Maka diambillah keputusan untuk dibakar.
Entah itu buku-buku yang ada di komplek A itu milik siapa, yang jelas ternyata penghargaan kita kepadanya masih sangat minim. Padahal buku menjadi salah satu sumber keilmuwan kita. Karena diakui ataupun tidak, ilmu kita masih di suthur, belum di sudhur. Jika memang buku-buku itu adalah kepemilikan para alumni (kalau melihat nama-nama tua yang banyak tertera di halaman pertama), lalu bagaimana cara penyelesaiannya? Terus terang banyak santri yang enggan memanfaatkannya jika tidak ada kerelaan dari pemilik. Tapi ini masalahnya agak lain, pemilik belum tentu tidak rela, mungkin saja rela tetapi tidak mengetahuinya.
Terlepas dari masalah-masalah tersebut di atas, selayaknya kita semua bersyukur karena dengan adanya rekonstruksi gedung asrama kita semua dapat merasakan kenyamanan., Namun yang perlu diingat adalah masalah peningkatan kwalitas dari pondok kita tercinta. Peningkatan sebenarnya tidak cukup dilakukan dari segi fisik dan bangunannya saja. Percuma saja jika gedung dibangun semewah mungkin, tapi dari segi kwalitas dan mutu pendidikannya masih kurang maksimal. Yang penting adalah perbaikan dan perombakan gedung asrama tersebut bisa sejalan dengan pembangunan mutu pendidikan dan moral para santri. Semoga. (El_Ch, If, adm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar