Have an account?

Selasa, 27 Januari 2009

Genk Kopi Setan

Asap keluar dari celah-celah jendela dan pintu yang sedikit terbuka di komplek A kamar nomor 6. Hampir setiap hari. Setiap sore, siang, bahkan pagi hari. Bukan karena wingit alias angker. Kebakaran? Mungkin ada benarnya. Kebakaran. Tapi bukan kebakaran besar yang memerlukan tenaga pemadam ebakaran, hanya kebakaran kecil sebesar ujung jari kelingking alias kebakaran rokok.
Dalam kamar itu, beberapa santri sedang menikamati obong-obong congor ditemani dengan segelas besar cairan berwarna hitam pekat kecoklatan yang masih mengeluarkan kepulan uap diatasnya. Bukan es Badeg yang terbuat dari sari tape ketan hitam, bukan juga es Cincau alias Cao (bahasa: Jawa Timur) yang juga berwarna hitam, melainkan kopi. Rasanya?Enak? Coba saja.
Alkisah, Toni yang konon kini sedang cuti, suatu hari tergerak hatinya untuk mencoba barang sesruput dua sruput kopi yang masih terlihat uap membumbung dari gelas yang tergeletak tak berdaya di lantai kamarnya. Sedikit ragu, atau tidak ada keraguan—mungkin bisa ditanyakan sendiri kepada beliau ketika sudah kembali ke pondok—dia meneguk sesruput cairan kental ini. Lidahnya bergetar hebat … . komentarnya?
“Kopi Setan! Kopi kok paite eram-eram… .”
Yah, itulah salah satu komentar cacian terhadap kopi yang malang dan tak bersalah itu. Meskipun bagi para peracik dan penikmatnya, lidah mereka sudah “terlatih” untuk merasakan kopi mana yang enak dan mana yang tidak (menurut versi mereka). Rasa kopi itu adalah rasa yang ideal.
Mungkin karena kisah tadi, santri-santri yang betah berlama-lama di situ, menikmati kopi yang paite eram-eram itu bisa disebut sebagai genk Kopi Setan. Lalu timbul pertanyaan, Racikannya bagaimana, apa saja bahannya? Siapa yang meracik? Kopi dari mana? Apa yang dilakukan mereka?
Setelah dilihat dengan mata telanjang, ternyata kopi itu diracik dari Kopi dengan merk terkenal yang namanya merupakan salah satu alat transportasi laut, meskipun dulu sempat menggunakan kopi dengan merek yang namanya merupakan nama salah satu jari. Tapi itu dulu. Bahahannya selain kopi itu yang dibeli secara urunan alias patungan atau yang lebih dikenal dengan bantingan, juga gula secukupnya. Kira-kira 4 (empat) sendok lebih (munjung) banding 1 (satu) sendok lebih, yang meracik gantian antar “anggota”, biasanya yang lain nggodok air.
Ngopi, mungkin itu satu hal yang “wajib” bagi mereka. Gojlokan, ngerumpi, diskusi, tukar pendapat merupakan sedikit hal yang dilakukan mereka. Biasanya setelah adzan atau qomat setelah dioprak-oprak oleh pak Topek—keamanan yang ehm ehm itu—mereka membubarkan diri, entah itu wudhu lalu ke masjid, jamaah atau bakar rokok lagi trus menikmati BAB di qulah. Juga ada yang ambil handuk untuk mandi (maklum, antrinya sudah tinggal dikit atau bahkan sudah tidak antri) de el el tergantung nafsi nafsi. Wallahu a’lam bisshowaf. –adm-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar