Have an account?

Selasa, 27 Januari 2009

Popok Basah, Menjadi Sampah?

Lagi-lagi urusan yang satu ini tak kunjung usai, setelah beberapa kali ada pengurus yang merelakan diri mengelondrikan pakaian-pakaian mangkrak yang ada di sekitar sumur dekat kamar C4, kini pakaian-pakaian itu bermunculan lagi. Malah jumlahnya bisa lebih banyak daripada yang dulu. Sungguh menjijikkan.
Popok-popok itu kalau diamat-amati sebenarnya ada penghuninya yang mbahu rekso, tapi seringkali sang pemilik itu malas untuk mencucinya. Dalam istilah kitab gebresnya yaitu ngende-ngende yang berakibat fatal, yaitu bisa-bisa lupa dan dibuat rumah para kodok dan bakteri-bakteri penyebar bintik-bintik hitam yang kalau dalam bahasa penulis yaitu endog kremo. Ada yang sama? He
Setelah berlama-lama mangkrak di sekitar sumur, maka bau yang tak sedap pun akan bermunculan. Akibatnya yang terkena dampak terparah adalah kamar C4 tentunya. Untung saja kamar ini tak punya jendela, karena konon katanya kamar ini dulu adalah gudang. Selanjutnya kamar-kamar sebelah utaranya yaitu komplek A bagian selatan.
Setelah bau yang tak sedap bermunculan, yang lebih parah lagi adalah komentar tak sedap dari para santri yang berdiam diri di sekitar lokasi sumur ketika ada seorang santri yang nyuci dengan kum-kuman cucian lebih dari satu pekan. Airnya itu lhoo yang menimbulkan bau seperti comberan tujuh sumber. Bacin! Kata-kata umpatan ples gojlogan yang membuat rendah diri dan minder tapi sejatinya sebagai penyemangat dan motivasi untuk meningkatkan daya cuci yang tinggipun keluar dari mulut-mulut licin mereka. Tanpa adanya komando yang menggerakkan.
Lalu bagaimana solusinya? Inilah sebenarnya yang mau kita rampungkan bersama. Ya kan?
Kalau tidak dari kesadaran kita masing-masing memang rasanya sulit menghilangkan kebiasaan seperti ini. Dan kesadaran itu membutuhkan latihan yang serius. Bayangkan pakaian kita adalah hasil jerih payah orangtua kita di rumah yang banting tulang sampai tak kenal waktu. Artinya, kalau kita membiarkan pakaian kita mangkrak yang bisa-bisa disemayamkan di Pokar (Pojok Karang) oleh santri yang piket, maka tulang orangtua kita akan habis karena dibanting terus. Padahal harga tulang lumayan mahal, kalau nggak percaya tanyalah di Ortopedhi.
Jika opsi yang pertama gagal, maka kita dapat melakukan alternative kedua. Yaitu dilondri dan dikasih di komplek biar yang merasa memiliki mengambilnya. Tapi harus dengan bayar! Dan tarifnya pun harus dua kali lipat, kan untuk bisyaroh orang-orang yang rela melondrikannya.
Opsi terakhir yaitu diikut sertakakan dalam baksos. Seperti di Gunung Kidul atau yang lainnya. Bukankah masih banyak yang membutuhkan baju layak pakai, tetapi mereka nggak memilikinya. Ini lebih bermanfaat dan membuat sumur kita menjadi bersih dan nyaman.
Akhirnya masalah yang kita hadapi harus kita selesaikan dengan segera. Kalau tidak, maka pondok bisa jadi ternak kodok.
Maaf, ketika nulis berita ini keadaan masih seperti deskripsi di atas. Namun sayang sekarang sudah bersih dan sudah terselesaikan masalahnya. Akhirnya walaupun belum terbit As-Sibaq sudah menginspirasi pembersihan itu. He… he … If

Tidak ada komentar:

Posting Komentar