Have an account?

Selasa, 27 Januari 2009

الكفاءة

Sekufu’ *

Aku ingin bercerita tapi jangan kau tertawakan.
Aku ingin bercerita tapi jangan kau tangisi.
Aku hanya ingin bercerita, dan jadilah pembaca yang baik.

Ku pikir semua akan mudah. Hidup itu tak perlu susah-susah. Wong hanya mampir ngombe saja kok. Tapi kenyataannya lain, sangat lain kawan. Entah aku yang salah atau memang aku yang salah. Keyakinan itu bagiku terkadang menimbulkan kesengsaraan. Bisa jadi karena aku berkeyakinan kepada sesuatu yang seharusnya tidak diyakini. Ah … bodoh amat.
***
Mula-mula memang hanya biasa dan itu tak akan menimbulkan sulit tidur, makan nggak enak, pikiran jadi nggak banyak terganggu, banyak melamun, dan banyak yang tak logis menjadi terjadi. Namun namanya ketemu terus menerus bisa menimbulkan itu … cinta. Dan itu wajar. Karena aku bisa melihat lebih jauh kelebihan dan kekurangan dia (yang ku rasa itu juga menjadi satu kelebihannya disamping kelebihan itu sendiri).
“Kita ini orang biasa le … mbok kamu cari istri yang sederajat saja.” Begitu pesan simbok mewanti-wanti ketika ku tawarkan dia, orang yang akan menyintai orang yang menikahinya. Siapapun dia, termasuk aku. Katanya.
Jika aku mendengar ‘sederajat’, atau dalam istilah fikihnya sekufu, aku sangat tidak suka. Tapi ku maklumi simbok, dia orang dulu dan aku orang sekarang, jelas beda kan? Bagiku yang dimaksud sekufu itu bukan dari segi putra kyai atau bukan. Tapi tingkat kecerdasanlah yang lebih ditonjolkan. Bukankah kamu juga berfikiran begitu? Kalau tidak, pasti kau tak akan pernah dapat ning yang cantiiik bangggets seperti aku. Kalau saja kamu bukan gus aseli ‘bikinan’ kyai.
“Kepandaian tak akan menjamin semuanya Le.” Bapak juga mendukung simbok.
Tapi aku tetap bersikukuh. Bukannya aku tidak patuh kepada bapak dan simbok, tapi ini urusannya lain. Dia mau menjadi istriku sepenuh hati. Dan alasan itu sudah cukup bagiku untuk ku pegangi kuat-kuat di depan kerentaan kedua orang tua. Alhamdulillah, akhirnya semuanya berhasil. Keduanya merestui (lebih tepatnya mengalah).
“Tapi ingat, kamu bukan siapa-siapa. Kamu adalah anak kami. Kamu bukan Gus, kamu hanyalah anak penyadap gula jawa. Dan kamu memang tak dilahirkan dari seorang Kyai karena bapak juga bukan anak Kyai. Pesan bapak, jagalah dirimu baik-baik diantara orang-orang bermartabat.”
Ku jawab ya dengan mantab.
Perkataan bapak benar. Aku memang bukan gus, tapi kalau unjuk kemampuan dengan gus aku tak akan kalah. Bukan sombong lho … nyatanya aku mampu meraih gelar magisterku dikota ini dengan hasil yang sangat memuaskan. Bukankah itu sebuah prestasi yang waaau! sungguh menggembirakan dari seorang putra penyadap gula jawa. Mungkin diriku bisa dikatakan dengan istilah ‘Setingkat Gus’.
“Jika njenengan rela dengan sesuatu hal, maka aku pun akan rela dengannya. Begitu pula sebaliknya. Bagiku hidup ini adalah sebuah pengabdian buat suamiku yang tercinta”.
Begitulah jawab istri cantikku yang sering ku panggil dengan Khumaira (itba’ Nabi) ketika selesai resepsi tadi siang di kamar pengantin kami yang penuh dengan bunga-bunga. Kalimat yang sangat sederhana, tapi cukup luas cakupannya. Dan dia memang seorang istri yang sangat ideal. Bukan dari nasab saja, tetapi ning yang sekarang menjadi istriku ini adalah sosok yang sangat patuh sekali dengan aku. Suaminya. Dia pasrah sepenuhnya atas dirinya kepadaku, dan akupun menghargai kepasrahannya. Ku pandang wajahnya yang aduhai … Lentik bulu matanya, merah muda pipinya, tipis dan merah bibirnya, dan aaah sempurna!
Dan akhirnya ku dapatkan ia diatas keindahan ini. Gadis ning yang dulu hanya bisa ku nikmati dari kaca ndalem sehabis sorogan Pak Kyai. Ku dapatkan puteri yang jika malam datang, seolah purnama malu dan berkata, “Gantikan aku wahai puteri cantik, sebagai hiasan malam.” Aku sungguh beruntung.
Soal keluarganya, mereka sangat menerimaku dengan tangan terbuka. Mereka tak membedakan menantu-menantunya yang dari keempat menantunya hanya aku yang bukan gus (semua puteranya bukan putera, tapi puteri). Mungkin karena pandangannya tentang sekufu sama denganku. Aku sangat beruntung mempunyai keluarga baru ini. Seolah surga ditumpahruahkan ke hadapanku.
Pak Yai (kalau sekarang sih bapak mertua) menawarkanku untuk menjadi penerus di pondok ini, maksudnya pengasuh selanjutnya. Namun aku merasa aku bukanlah orang yang layak, dan banyak yang lebih layak dari ketiga menantu yang memang punya darah ke kyai-an. Kyai memaklumi, dan akhirnya aku tinggal bersama beliau untuk membantu-bantu mengembangkan pondok.
Namun karena rasa ingin berbakti dengan orang tua dan kampung di rumah, aku tak begitu menikmati keadaan ini. Karena tempatku disitu namun hatiku di rumah bersama simbok dan bapak. Akhirnya aku pindah dengan restu mertua dan atas pertimbangan Khumairaku.
“Yang engkau inginkan, aku pun sangat menginginkannya.” Katanya tersenyum, lalu ku kecup keningnya.
Awalnya aku khawatir dia akan sangat sulit hidup di desa dengan fasilitas yang sangat minim. Namun ia tak seperti anggapanku. Ia cepat beradaptasi dan sangat tanggap (tidak manja). Dan walaupun ia tampak lelah dengan aktifitas gerak yang padat, namun ia sungguh tak pernah mengeluh. Bayangkan saja, ia mencuci baju sendiri, menimba air, memasak memakai kayu bakar, sampai harus mencari ranting-ranting kering untuk memasak. Padahal dulu semua itu tak pernah dilakukannya karena dia sibuk mengurusku dan para santriwati untuk setoran hafalan Al-qur’an kepadanya ketika Bu Nyai berhalangan.
Namun lambat laun masalah itu muncul satu persatu menjejali otakku dan terus menggangguku. Masalah itu bukan datang darinya yang tak rela dengan kehidupan sekarang, bukan darinya yang kurang melayaniku, bukan dari orangtuaku yang kurang sreg, bukan dari para tetangga yang tak cocok. Bukan dari itu semua!.
“Kamu di rumah saja nduk.” Begitu kata simbok membujuknya. Ditangannya tertenteng tambang panjang, serta makanan bontot (nasi sayur, lauk yang dibungkus dengan pohon pisang), dan pada kepalanya bertengger caping. Ya, musim ini memang musim tanam padi. Ia tak tega jika menantu rembulannya ikut ke sawah.
Tanpa jawaban. Ia malah tersenyum dan langsung berlari kecil ke dalam rumah. Simbok lega.
Namun yang terjadi bukan itu, ia keluar dengan seragam tanam padi yang serba lusuh. Ternyata ia sudah persiapan membawa baju yang layak untuk dipakai ke sawah. Ku lihat dengan sudut mataku, oh rembulanku … kau terbalut kabut yang tebal.
Tapi simbok, bapak, dan juga aku sendiri terus membujuk sang rembulan untuk tinggal di rumah. Perasaan kami sama, dia tak layak untuk itu. Tapi ia tetap saja memaksa agar kami menyerah.
“Aku ikut ya? Nanti aku diajari yang mbok?”. Rengeknya seperti anak kecil yang manja. Oooh … rembulan berkabutku, kau terlihat manis dengan rengekan dan sikap manjamu itu. Tapi bukan di sini, saat pakaianmu tak pantas untukmu.
Akhirnya kami kalah. Sesampai di sawah dia tampak serius belajar menanam dengan Simbok. Dan sekali-kali melambai padaku dengan tersenyum manis sekali. Dan otakku saat itu mulai berfikir keras.
Ning, kau tak layak hidup di sawah! Kau bukan gadis sawah! Kau adalah calon bu nyai yang setiap hari mengajar, jika saja bukan aku jodohmu. Kau harusnya berontak dengan semua keadaan ini, dengan keputusan ayahmu mengijinkanku untuk menikahimu waktu itu. Kau harusnya berontak dengan keputusanku pindah tempat tinggal. Kau harusnya minta aku untuk membuatkan rumah yang layak, bukan rumah itu yang mulai bocor sana-sini dan retak yang akut. Kau seharusnya tak bahagia di sini, disawah yang penuh terik, tapi kau sesekali menatapku dan mengacungkan tanganmu dari kejauhan dengan senyummu. Tapi kau tak pernah mengatakan bahwa kau ingin mengajar walaupun keilmuanmu sudah tak diragukan, namun kau tak pernah mengeluh dengan semua ini. Kau tetap tersenyum dan tak pernah terkikis pasrahmu padaku. Namun kau tak pernah menuntut apa-apa dariku.
“Yang engkau inginkan, aku pun sangat menginginkannya.” Itulah ujarmu yang sering sekali ku dengar dari bibir merah tipismu.
Aku harus bilang apa jika nanti aku ditanya malaikat tentang kedzalimanku karena tak menempatkanmu pada tempat semestinya. Apakah aku akan menyalahkanmu, bukankah penyebab utamanya adalah aku. Aku harus bilang apa?
Tapi masalah itu datang dari diriku sendiri.
“Kita ini orang biasa le … mbok kamu cari istri yang sederajat saja.”
Tiba-tiba saja kata-kata simbok terngiang-ngiang di telinga kanan dan kiriku. Aku jadi ragu dengan prinsipku bahwa “sekufu’ bukanlah kesesuaian ning dengan gus”. (If. Terpaksa cerpen ini saya kirimkan ke As-Sibaq yang tentunya pasti diterima. Ini bukan karena saya Krubaq(kru As-Sibaq), tapi lebih karena tak ada tulisan lagi yang masuk sehingga papan yang cukup besar itu ra kebak-kebak. Tapi tetep ga’ popo, siap dan sangat menunggu komentar apa saja dari pembaca mana saja. Bisa lewat lisan, tulisan tangan, ataupun via elektronik)

Komplek B
28 April ‘08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar